Rohani Tanpa Kasih = Sia-sia
Suatu
kali saya duduk dan mulai berdiam, hendak merenungkan sesuatu meskipun akhirnya
saya tidak mendapati suatu hal untuk direnungkan. Tiba-tiba saja terlintas
suatu hal dalam benak saya. Inilah yang terlintas itu :
“Saya
dan si A, adalah dua orang sahabat. Seandainya saya adalah seorang yang rohani,
bahkan sangat rohani. Dan si A yang juga seorang rohani, dan juga tidak kalah
rohani. Kami berdua mengerti firman, dan kami juga sama-sama berkata melakukan
firman. Sampai suatu saat ada masalah diantara kami. Memang bukan karena suatu
dosa, tetapi hanya karena kami berbeda. Semenjak kami berbeda, kami tidak lagi
menjadi seorang sahabat. Kami tidak pernah lagi bertegur sapa, meskipun ada
kesempatan untuk bertegur sapa. Tetapi kami tetaplah orang yang rohani di
tempat kami masing-masing berada.”
Dari
apa yang terlintas di kepala saya, mulai turun ke hati saya sebuah pertanyaan
“Apakah kami tidak akan saling menyapa, bahkan ketika kami di Sorga??” Ataukah
kami tidak akan masuk Sorga hanya karena kami tidak saling menyapa di bumi ini,
sekalipun kami orang yang rohani??”
Banyak
orang Kristen yang begitu rohani, bahkan sangat rohani, dan terkadang saya
menyebut mereka sebagai kaum yang Eksklusif, tidak pernah menyadari hal ini.
Orang Kristen mulai menjadi rohani di dalam zona mereka masing-masing. Hal
tersebut memang tidak salah, tetapi juga dapat menjadi sebuah warning bagi
kehidupan kita.
Seringkali
saya membaca bagaimana orang-orang Kristen menjadi begitu bersemangat buat
Tuhan, rajin ke gereja, melayani, bahkan mungkin juga sering menyanyi “Mati
hidup buat Tuhan….saya kerja di ladangnya Tuhan”. Dan mereka mulai membangun
menara mereka masing-masing semakin tinggi di tempat masing-masing. Tetapi
tanpa disadari, ada suatu hal yang hilang dari mereka. Ternyata mereka tidak
akur dengan saudara mereka, tidak mau saling sapa dengan saudara mereka, bahkan
melirik pun tidak mau. Senyum yang dibuka lebar-lebar di pintu gereja (bahkan
mungkin lebih lebar dari pintu gereja yang terbuka) untuk menyambut jemaat,
tidak ditemukan ketika berada di tengah saudaranya. Jabatan tangan yang hangat
menjadi kepalan tangan yang membawa permusuhan.
Seringkali
tanpa kita sadari hal ini menimpa dan terjadi dalam kehidupan kita. Perbedaan
pendapat menjadi kesalahpahaman, kemudian menjadi pergunjingan, dan akhirnya
menjadikan kasih akan saudara itu menjadi padam. Dan ketika kasih itu padam,
mungkin akan sangat sulit kita menemukan senyum, sapaan, teguran, sambutan
tangan. Dan kalaupun kita menemukan, mungkin tidak lagi murni (bahkan mungkin
lebih murni bensin eceran).
Bayangkan
saja, apa jadinya Sorga jika dipenuhi orang-orang rohani dengan mahkota mereka
yang besar-besar, jubah mereka yang indah-indah, tetapi tidak ada yang saling
bertegur sapa satu dengan yang lain??? Saya sangat yakin Sorga bukanlah tempat
seperti itu. Sorga itu tempat dimana kita saling megasihi. Saling menyapa,
saling menegur dan saling bersukacita satu dengan yang lain, saling memeluk, saling
bergandengan tangan dalam damai sejahtera Allah.
Jadi,
kalau begitu siapa yang akan masuk Sorga?? Jawabannya bukan si A, si B, si C.
Namun orang rohani yang hidup dalam kasih!!
Paulus
menuliskan dalam Roma 15:5, memohon kepada Tuhan agar mengaruniakan kerukunan
dalam jemaat. Roma 15:1 juga menegaskan bahwa jemaat harus saling menanggung
beban, bukan untuk mencari kesenangan sendiri. Kata kesenangan disini
menggunakan kata “aresko”. Kata ini
berarti berkenan, menyenangkan, menyukakan. Kata “aresko” ini menunjukkan kepada sebuah tindakan yang berusaha untuk menyenangkan
hati Tuhan (Galatia 1:10). Juga 1 Tesalonika 4:1, kata ini menunjukkan sebuah
hubungan bergaul karib dengan Allah secara intim dan menjadi berkenan melalui
hubungan tersebut. Hal ini tentu saja merupakan sebuah hal yang harus
diwaspadai. Ketika seseorang berusaha untuk mencari dan menyukakan Allah
melalui sebuah hubungan intim dengan Allah dan menjadi rohani, Paulus mengingat
agar mereka juga tetap saling menanggung beban satu dengan yang lain.
Lebih
tegas lagi, Roma 12:9 mengatakan agar kasih itu tidaklah pura-pura. Kata tidak
pura-pura menggunakan bahasa “anupokritos”
yang berarti ikhlas, tidak munafik. Kata yang sama juga muncul dalam Yakobus
3:17, yang menggambarkan hikmat Allah yang masih murni. Kasih seorang percaya
hendaklah sama murninya dengan hikmat dan kasih yang dari Allah. Jadi nampak
dengan jelas bahwa Paulus mengingatkan jemaat agar mereka memiliki kasih
sebagaimana kasih Allah yang tidak pura-pura, tidak munafik. Oleh sebab itu, hendaknya sebagai seorang yang
percaya, kita harus saling mengasihi satu dengan yang lain. Menghilangkan
kepura-puraan, dan dengan tulus mengasihi.
Mungkin
kita akan membela diri kita dan berkata “Ah, hal itu bukanlah hal yang gampang.
Seandainya kita disakiti, pasti kita tidak akan terima. Dan wajar kalau kita
sakit hati” Yuph, hal itu memang benar. Kita tidak bisa melarang orang untuk
menyakiti kita, tetapi kita bisa melarang diri kita supaya tidak sakit hati
dengan mereka!!!
Martin
Luther pernah mengatakan “Kita tidak bisa
melarang burung terbang di atas kepada kita, tetapi kita bisa melarang burung
untuk hinggap di kepala kita” Sedangkan Napoleon Hill mengatakan “Tak seorang pun membuat Anda marah,
cemburu, dan sakit hati, kecuali Anda mengijinkannya. Demikian juga sebaliknya”
Mengasihi
bukanlah suatu pilihan, meskipun banyak orang yang menganggap itu sebagai
sebuah pilihan. Mengasihi itu mutlak. Mengasihi itu adalah keharusan. Dan kita
harus mengasihi. Jangan sampai menjadi orang-orang rohani yang tidak lagi
memiliki kasih. Paulus, yang kita kenal sebagai seorang Rasul yang luar biasa
menyadari bahwa tanpa kasih semua akan menjadi SIA-SIA!! (1Kor 13).
“Ajarilah
kami ini saling mengasihi..ajarilah kami ini saling mengampuni…ajarilah kami
ini kasihMu ya Tuhan…..”
Mari
saling MENGASIHI!!
Yohanes
Nainggolan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar